Selasa, 30 Desember 2008

Hallo...

Hallo…

Boy adalah nama yang cukup eksentrik bahkan ekstrim untuk nama seorang guru. Nama itu tidak cocok, menurutku semestinya Agus, Ilyas, Karno, Bambang, atau Endang, sehingga pantas didengar jika disapa dengan panggilan Pak Agus, Pak Ilyas, Pak Karno, Pak Bambang, atau Pak Endang. Sedangkan Boy? Menurutku cocok untuk nama seorang rocker atau preman bertato naga dilengannya atau tato apalah yang jelas bertato. Kadang aku berpikir dia orang yang salah memilih jurusan ketika kuliah atau mungkin dia korban orang tua yang memaksanya untuk jadi seorang guru. Kalangan orang tua, termasuk orang tuaku menganggap guru adalah pekerjaan yang sangat mulia, sehingga banyak yang mengarahkan cita-cita anaknya bahkan memaksanya menjadi guru, sehingga guru menjadi profesi yang terpaksa dijalaninya. “Apa mungkin karena itu, banyak guru yang ga bener ngajarnya?” pikirku ngaco. “Tapi bisa juga!” pikirku lagi. “Hari ginee…!”

Dialah guru muda di sekolahku yang paling aku benci mungkin sampai tulang sumsumku. Dia konsisten memberlakukan peraturan sekolah dengan sangat ketat dan terkadang tanpa toleransi. Mulai dari potongan baju, celana atau rok, rambut, sepatu, kaus kaki, sampai aksesoris seperti gelang, kalung, cicncin tidak luput dari perhatiannya. Tidak sedikit teman lelaki sekelasku yang berambut model “Ungu” yang ngacung-ngacung dengan cambang panjang itu dibabatnya habis. Entah berapa banyak gelang-gelang dan cincin yang menurutku keren disita paksa tanpa jaminan dan tak pernah dikembalikan. “Mungkin dia mau buka lapak di pasar kaget,” pikirku ngada-ngada. Contoh kecil lain jika ada siswa yang tidak memakai lokasi sekolah pada saat bertemu dengannya, sudah pasti akan mendapatkan ceramah panjang lebar. Pokoknya bisa membuat telinga panas. Bahkan aku sering melihat dia berkata keras kepada siswa lain yang aku sendiri tidak mau ambil pusing apa kesalahan mereka. Bayangkan bagaimana kalau ketauan mabal atau tidak mengerjakan PR. “Pasti hancur tuh kuping,” kata seorang anggota gankku. “Mungkin bisa-bisa kita dijemur seharian di lapangan upacara,” tambahku sinis. Seperti kejadian yang dialami seorang temanku kemarin. Gara-gara kabur saat pelajarannya, dia dijemur di lapanagan basket sampai pergantian pelajaran berikutnya. Pokoknya, buatku Boy adalah guru yang paling killer plus nyebelin. Namun dalam hatiku yang paling dalam memang ada sedikit pengakuan bahwa dia memang berbeda dengan guru lain yang tidak begitu tertarik bahkan cenderung tidak peduli dengan penegakan disiplinan di sekolah, mereka hanya mengajar…lalu pulang.

Aku sendiri siswa yang sangat sering mendapatkan ceramahnya dan berulang kali dikeluarkan pada saat jam pelajarannya. “Ki, silakan keluar dan jangan coba-coba mengikuti pelajaran saya kalau penampilan kamu seperti itu!” usirnya suatu ketika. Terpaksa aku keluar kelas dengan kesal dan dengan sikap yang kusadari tidak sopan. Sengaja sikap itu aku tunjukkan agar dia tahu bahwa dia tidak boleh semena-mena terhadapku tanpa berpikir tersinggungkah dia dengan sikapku itu. “Memangnya kenapa aku?” tanyaku dalam hati “Cuma karena lengan bajuku pendek, kubuat kecil dan bajuku tidak dimasukkan?” protesku lagi. “Bukan Cuma itu Ki, lo liat deh lo juga ga pake lokasi dan emblem!” kata seorang temanku saat jam istirahat sambil menunjuk ke dada dan lengan bajuku sebelah kanan. Meski aku tahu itu, aku tetap saja tidak bisa menerima perlakuan Pak Boy padaku pagi tadi. Padahal dia bukan guru BP atau pembina OSIS apalagi wakil kepala sekolah urusan kesiswaan yang biasa menangani masalah-masalah seperti itu. Dia hanyalah guru biasa. “Carmuk banget sih!” ejekku ketika dia melintas di depanku saat aku sedang istirahat dan asik ngerumpi dengan Shieldverra, teman baikku. Dia emang tak tahu diri, diejek seperti itu bukannya mikir atau balik marah. “ Eh..Ki, liat deh…dia malah senyum,” kata Shieldverra dengan muka aneh plus melongo seraya telunjuknya mengikuti arah guru itu berjalan menuju kantor.

Aku pikir, mungkin guru yang nyebelin itu tidak pernah menonoton tayangan-tayangan sinetron tentang anak SMA di televisi sehingga dia disconnected dengan gaya remaja masa kini. Lihat saja! Mana ada yang bajunya dimasukkan? Mana ada yang berpenampilan seperti yang dia inginkan? Perempuannya terlihat modis dengan baju ukuran kecil, lengan baju dikecilkan, bagian bawah baju dipotong hingga nyaris tidak bisa dimasukkan lagi ke dalam rok yang juga pendek. Rambutnya? Tentu saja boleh dicat warna-warni. Siswa laki-lakinya pun sama, rambut mereka boleh gondrong, telinga dan hidung boleh dipierching. “Kenapa dia norak banget sich?” pikirku tidak mengerti. Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh aku memberikan ilustarsi supaya dia melek. Sebuah sekolah yang tidak jauh dari sekolahku pun sebenarnya cukup bila kujadikan contoh. “Tidakkah dia setiap hari melewati sekolah itu dan melihat betapa bebasnya penampilan siswa-siswinya?” Lagian yang lebih penting menurutku bukan sekedar penampilan yang rapi dan terkesan jadul banget, tapi isi kepala.

Kebencianku terhadap guru yang satu itu semakin bertambah, ketika suatu ketika aku dengan sengaja mengecat pirang rambutku. Komentarnya sangat berbeda dengan teman-temanku yang mengatakan, “Kiki, lo tambah cool deh dengan gaya rambut begitu.” Atau seorang teman laki-laki di kelasku memberi pujian, “Ki, kulit lo jadi kelihatan lebih putih dan mulus dengan rambut pirang.” Apa coba komentarnya ketika aku dipanggil khusus olehnya, “Ki, maaf ya sepertinya penampilan kamu sudah tidak pantas sebagai seorang siswa.” Terang saja aku jadi sewot mendengar dia berbicara begitu karena ada kesan dia menuduhku dengan prasangka yang macam-macam. “Penampilan saya tidak pantas sebagai siswa, kata Bapak?” tanyaku nyolot “Maksud Bapak?” kejarku lagi. “Maksud saya….” Jawabnya terputus. “Maksud Bapak saya seperti jablay, begitu?” potongku cepat dengan nada yang meninggi karena aku tersinggung. Aku tak bisa lagi menahan emosi dan air mata. Aku bangkit dari dudukku kemudian berlari meninggalkan dia yang juga berdiri di sisi meja sebelah sana mencoba menahanku pergi. “Bukan…maksud saya bukan begitu, Ki. Dengarkan dulu!” begitu pintanya sepintas ku dengar di sela isak tangisku. Aku bergegas mengambil tasku dari dalam kelas. Tentu saja kejadian itu membuat guru yang sedang mengajar dan teman-teman sekelasku jadi bengong dan saling pandang tanda tidak mengerti apa yang telah terjadi. Aku terus saja melangkah setengah berlari menuju tempat parkir, tanpa memberi kesempatan kepada Si Boy, guruku itu, untuk melanjutkan perkataannya tadi apalagi untuk memberikan penjelasan. Padahal dari kaca spion mobilku kulihat dia berusaha mengejar. Apa peduliku…. Aku terus tancap gas setelah aku memaksa satpam sekolahku untuk membukakan pintu gerbang.

“Apa? Gurumu bilang begitu?” tanya ibuku dengan muka memerah tanda marah setelah mendengar laporanku. Memang ibuku selama ini sangat menyayangi aku. Ia selalu mengabulkan apa saja yang aku inginkan tanpa bisa menolak, walaupun sebenarnya terkadang permintaanku tidak disetujuinya. Sebenarnya ibuku sempat melarang aku untuk mengecat rambut, tapi aku tetap memaksa. Saking sayangnya, dia pula yang mengantar aku ke salon tempo hari untuk mengecat rambut yang sekarang menambah ruwet sengketa antara aku dengan guru yang bawel itu. Esoknya Ibuku datang ke sekolah hendak menemui Pak Boy. Segudang caci-maki mungkin sudah dipersiapkan Ibuku seandainya Pak Boy hari ini ada di sekolah. Wajarkan? Orang tua mana yang bisa terima kalau benar anaknya dikatakan jablay walau oleh guru sekalipun. “Guru macam apa dia? Kok bisa-bisanya berkata seperti itu kepada muridnya.” maki ibuku waktu itu dengan nada yang sangat ketus. Katanya sih dia sakit karena kemarin sore kehujanan sewaktu pulang. “Beruntung sekali dia,” bisikku dalam hati. Akhirnya, ibuku diterima langsung oleh kepala sekolah. Aku tidak tahu apa yang disampaikan ibuku kepada kepala sekolah. “Sudah, Ibu sudah melaporkan gurumu itu kepada kepala sekolah.” katanya sambil melangkah ke arahku selepas keluar dari ruang kepala sekolah. “Katanya, dia yang akan memproses…siapa namanya?” sambung ibuku sambil bertanya. “Pak Boy?” jawabku setengah bertanya pula. “Iya..Pak Boy.” Jawab ibuku singkat.

Aku mungkin satu-satunya siswa yang sangat membencinya. Bila berpapasan dengannya, aku belum pernah sekalipun menyapanya, apalagi membalas senyumnya. Aku memang selalu berpura-pura tidak pernah melihat kalau dia memberi senyum tulusnya untukku. Lewat sudut mataku aku tahu dia diam-diam merasa malu karena aku seperti itu. Terkadang aku merasa aneh mengapa dia bersikap biasa-biasa saja seakan tak pernah terjadi apa-apa. Padahal aku setengah mati membencinya. “Mengapa masih ada senyum itu untukku?” tanyaku dalam hati. “Apa mungkin karena hari ini atributku lengkap?” pikirklu lagi. Aku tak peduli karena apa dia tersenyum padaku. Shieldverra sahabat terdekatku yang selalu mendukungku sekalipun, sepertinya tidak sehebat aku dalam membencinya. Bahkan dia pernah mengatakan bahwa aku jangan terlalu membencinya. “Mungkin dia benar, Ki. Bahwa keberhasilan itu merupakan sesuatu yang mustahil tanpa disiplin. Dan bentuk disiplin yang paling kecil salah satunya dengan mengenakan atribut sekolah,” begitu kata Shielverra ketika aku juga kena teguran Pak Boy entah untuk yang keberapa kalinya dalam semester ini. “Eh Ki, lagian kata Kahlil Gibran, kebencian yang berlebih dapat melahirkan cinta lho….” lanjutnya menggodaku. Aneh memang kenapa hanya aku? Sedangkan siswa lain begitu menghormatinya? Bahkan yang ku lihat mereka tidak takut tetapi malah segan. “Ada apa ini?” pikirku tak mengerti. “Dunia mungkin sudah terbalik dan orang-orang menjadi gila,” gumam kesalku lagi. “Apa karena aku sudah terlanjur membencinya?”

Entah mengapa aku selalu merasa tidak puas kalau melihat dia baik-baik saja. Mungkin karena dia terlalu sering memarahi ku sehingga kebencian ini terlanjur mendarah daging. Sebenarnya bukan memarahi, tapi yang lebih tepat mengingatkan. Karena kejadian itu terlalu sering, aku sudah tidak bisa lagi membedakan keduanya. Aku tidak lagi bisa membedakan antara perhatian dengan benci. Berbagai cara pernah aku lakukan untuk ngerjain dia. Mulai permen karet bekas kunyahan mulutku sendiri yang aku tempelkan di kursi guru sesaat dia hendak mengajar di kelasku, tutup pentil motor bututnya yang aku kantongi, sampai ban motornya pernah aku gembosi. Rasanya puas hatiku ketika melihat dia bercucur peluh ngedorong motornya ke tukang tambal ban. Aku menganggap itu bayaran yang cukup setimpal dengan malunya aku ketika diceramahi di depan kelas atau diusir dari kelas waktu itu. “Apakah aku ini memang pendendam?” tanyaku dalam hati di sebuah malam yang sepi ketika aku hendak tidur. Aku menarik nafas panjang lalu kehembuskan secara perlahan dengan lenguh yang nyaris aku sendiri tidak mendengarnya.

☺☺☺

Waktu terus berlalu, tak ada perubahan yang berarti pada semuanya, aku masih asyik mempertahankan dan menunjukkan ketidaksukaanku kepadanya. Begitu pula pada perkembangan hasil belajarku malah cenderung menurun dan terus menurun padahal Ujian Nasional kurang lebih enam bulan lagi. Takut ga lulus sih sudah pasti ada. Bagaimana dengan penampilanku? Atas desakan teman-temanku yang setiap hari tak bosan ngomong dan mengingatkan agar aku jangan terlalu ekstrim dalam berpenampilan dan jangan terlalu menunjukkan sikap benciku kepada Pak Boy, akhirnya aku terpaksa mencoba mengubah penampilanku secara perlahan. Ternyata yang paling berat aku rasakan adalah mengubah sikapku terhadapnya yang sudah terlanjur dingin dan beku laksana gunung es di kutub selatan. Aku gengsi jika tiba-tiba aku harus bersikap baik atau bermanis-manis kepadanya.

Kalau aku boleh jujur, sebenarnya perubahan penampilan dan sikapku bukanlah semata-mata karena desakan teman-temanku, bukan pula kulakukan dengan terpaksa, tapi lebih tepat karena aku merasa kasihan kepada Pak Boy jika kukenang segala akibat perbuatanku kepadanya. Pak Boy mungkin mendapatkan peringatan keras dari kepala sekolah karena pengaduan ibuku dalam kasus jablay yang belum tentu dia katakan kepadaku waktu itu. Bagaimana dia ditertawakan teman sekelasku ketika hendak menulis di papan tulis karena pantat celananya terkena permen karet. Aku masih bisa membayangkan bagaimana raut wajahnya memerah menahan malu ketika itu. Bagaimana dia bercucur peluh di terik matahari mendorong motornya ke tukang tambal ban karena ban motornya aku gembosin. Bahkan aku masih ingat betul ketika ia terjatuh ke selokan karena aku sengaja tidak memberinya jalan waktu berpapasan di jalan aspal kecil tidak jauh dari gerbang sekolahku. Waktu itu aku hendak pulang sekolah dan dia akan mengajar anak-anak kelas satu yang masuk siang. Aku puas melihat baju dan celananya kotor. Sepintas kulihat pula wajahnya yang ga jelek-jelek amat bercelemong lumpur got. Ia berusaha berdiri dan bersusah-payah mengambil sebuah bungkusan segi empat yang juga kulihat sedikit kotor lalu berusaha membersihkan lumpur itu dengan ujung jaketnya. Aku hanya membuka kaca dan memberi klakson. Tanpa mau tau bagaimana keadaannya, apalagi sampai ingat tentang kerusakan motornya, aku begitu saja berlalu dari tempat itu.

Aku kini benar-benar ingin menunjukkan rasa penyesalanku kepada Pak Boy melalui tindakan-tindakanku. Aku berharap dia tahu dan mengerti bahwa aku sangat menyesali segala perbuatan yang pernah ku lakukan terhadapnya pada waktu yang lalu walau tidak langsung ku katakan lewat mulutku. Tapi setelah sekian lama sepertinya perubahan penampilan dan sikapku tak mendapatkan respons seperti yang aku bayangkan. Sikapnya biasa-biasa saja malah berbicara dan bersikap pun terkesan seperlunya kepadaku. “Ya..Tuhan, mungkinkah dia begitu sakit hati kepadaku?” bisik hatiku lirih. Sementara aku tetap menunjukkan bahwa aku berubah walau terkadang kebiasaan burukku terutama dalam hal kelengkapan atribut, sesekali masih ku langgar. Yang lebih mengherankan aku sering merasa kesal jika dia berbicara atau berjalan dengan siswi lain. “Ada apa dengan mu, Kiki?” tanyaku tak mengerti sambil mengetuk-ngetuk kepalaku sendiri. Mungkinkah benar apa yang dikatakan Shielverra tentang Kahlil Gibran itu? “Gak mungkin….gak mungkin!!” bantah ku sengit. “Tapi…..” sela Shieldverra waktu itu. “Ah…sudahlah aku gak ngerti.” Potongku cepat sambil buru-buru aku membalikkan badan meninggalkan Shieldverra yang tersenyum penuh arti.

Beberapa hari kemudian tibalah saatnya aku harus mengikuti rangkaian ujian semester ganjil. Saat itulah kembali rasa benci bercampur rasa frustasi terhadap Pak Boy kembali menggelora. Hari kedua, pelajaran Bahasa Indonesia, aku kembali dikeluarkan lagi-lagi oleh orang itu. “Ini aturan!” katanya tegas. Aku memang menyadari bahwa hari itu aku tidak mengenakan emblem dan lokasi sekolah. “Pak, saya jujur Pak, memang begitu kejadiannya.” paparku seraya berharap dia percaya pada semua alasan yang telah susah payah aku kemukakan. “Oiya?” tanyanya dengan nada mengejek kebenaran alasanku. “Tadinya saya sangat senang, saya pikir kamu sudah berubah tapi ternyata kamu masih seperti yang dulu.” sambungnya seraya mengantarkan aku ke luar kelas. Setelah aku di luar ditutupnya kembali pintu itu. Aku merasa sangat kesal mengapa dia sama-sekali tidak mempercayai semua alasanku. Mengapa dia sama sekali tidak menghargai usahaku untuk berubah selama ini. Mengapa dia tidak mengerti arti tatapanku kepadanya akhir-akhir ini, hingga masih tidak ada toleransi untukku. Aku sangat kesal..kesal sekali terutama ketika dia begitu sinis menanggapi alasan-alasan yang aku berikan tadi. Aku tak kuasa menahan tangis hingga kembali untuk yang kedua kalinya tangisku berderai. Kata seorang staf TU, kali ini tangisku jauh lebih keras, itu mungkin karena aku sangat menyesali diriku sendiri. Aku tak tahu harus bagaimana dan mengadu pada siapa sampai akhirnya kuputuskan untuk menelepon ibuku lewat telepon genggamku. Ketika kudengar suara ibu, entah mengapa aku malah tak bisa bicara, aku hanya bisa menangis lebih keras. Ibuku tentu saja tidak mengerti dan mengkhawatirkan aku. Setelah berusaha meredam tangisku aku hanya bisa berbicara di tengah isakku bahwa aku dikeluarkan lagi oleh Pak Boy.

“Kalau Anda tidak suka kepada anak saya, jangan begitu dong caranya!” bentak ibuku sambil menunjuk muka Pak Boy. “Bu..kejadiannya tidaklah seperti yang ibu bayangkan,” Pak Boy coba menenangkan. “Dua kali sudah Anda mengusir anak saya dari kelas. Apakah itu sebuah kebetulan?” desak ibuku dengan nada geram yang tidak bisa ditahan walau ku tahu dia sudah mencoba menahannya. “Tapi Bu…,” Pak Boy mencoba menjelaskan. “Tapi Apa?“ potong ibuku cepat, “Anda tidak tahu apa-apa tentang Kiki dan Anda bisa saya tuntut jika terjadi sesuatu pada anak saya!” lanjut ibuku disertai ancaman. “Sudahlah Bu, ini bukan kesalahannya,” aku mencoba masuk dalam pembicaraan panas itu. “Memang kejadiannya tidaklah seperti yang ibu bayangkan,” lanjutku kemudian sambil menarik lengan ibuku dan meninggalkan Pak Boy yang berdiri sendirian menjadi pusat perhatian seluruh siswa dan guru di sekolahku.

Aku tidak menyalahkan ibuku yang bersikap demikian. Mungkin karena ia terlalu khawatir mendengar aku menelepon sambil terisak dan pastilah ia mengira aku telah diperlakukan kasar karena kesalahan yang aku perbuat. Sebaliknya aku juga tak bisa membenarkan tindakan ibuku. Justru aku kembali menyalahkan diriku yang begitu bodoh membiarkan kejadian yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya terjadi begitu cepat, dan aku…. aku tak memiliki kesempatan untuk menjelaskan apa yang semestinya ku jelaskan kepada ibuku. Betapa malunya Pak Boy saat itu, bahkan mungkin juga ia sangat merasa menyesal telah mengeluarkan aku walau demi tegaknya disiplin sekolah jika harus menanggung malu seperti itu. “Bisa saja orang memberikan penilaian salah kepada Pak Boy, kalau melihat begitu marahnya ibuku kepada nya,” pikirku di tengah penyesalan. Permohonan maaf seperti apa yang harus ku sampaikan kepada Pak Boy. Aku tidak tahu. Banyak hal yang semestinya kujelaskan. Tapi… Blank…Sejak peristiwa itu aku menjadi pendiam.

Hampir seminggu ini aku tidak pernah melihat motor butut warna merah di pojok tempat parkir sekolahku. Itu artinya sudah seminggu ini Pak Boy tidak masuk. “Kemana saja dia? Apa yang terjadi pada nya? Mungkinkah karena aku?” berjubel pertanyaan terus menyesaki kepalaku. mmmPagi itu jantungku berdetak kencang karena pelajaran pertama adalah pelajaran Pak Boy. Aku tidak mengerti makna beribu detak jantung ini. Takut, rasa bersalah atau ….. “Ah…tidak mungkin,” bantahku dalam hati dengan sengit. Hatiku semakin keras berdetak tatkala pintu kelas ada yang mengetuk dan perlahan terbuka. “Assalamualikum!” terdengar suara seorang lelaki. “Wa’alaikum salam!” jawab teman sekelasku serempak. “Ketua kelas IPA-2 di panggil guru piket,” kata lelaki yang mengenakan putih abu-abu yang tepat berdiri di pintu kelas. Aku mearik nafas panjang bersamaan dengan bergegasnya ketua kelasku berdiri dari kursinya menuju meja piket di depan koridor bangunan sekolah yang menjadi satu-satunya akses keluar-masuk seluruh siswa. Ternyata lelaki tadi bukanlah Pak Boy tetapi Angga, ketua kelas IPA-1. “Ada tugas dari Pak Boy.” ketua kelasku setengah berteriak sambil memberikan sebuah buku yang salah satu halamannya dilipat kepada sekretaris kelasku. Lamunanku buyar… “Emang Pak Boy kemana?” tanyaku spontan. “Ehm…ehm..ehm..ehm..!” bergemuruh dari tiap sudut kelas disambut riuh rendah nada-nada mengoda, mengolok-olok, mengejek dan sejenisnya. Wajahku memerah dihias muka bengong sambil nengok kiri-kanan tanpa mampu memberikan perlawanan.

“Kemana katanya?” tanyaku tak sabar.”Kata seorang petugas TU, Pak Boy sedang ada urusan untuk beberapa hari ini ke Bandung,” jawab Shieldvera lemas sambil mengangkat kedua bahunya. “Oo…,” responsku seadanya setelah menyimak laporan Shieldverra yang sengaja aku tugasi menjadi detektif gadungan. “Ya udah mana nomor hand phone-nya?!” tanyaku dengan nada meminta sambil mengulurkan tangan kananku menyambut sepotong kertas asal sobek yang diberikan Shieldverra. “Yakin lo berani nelepon dia?” tanya Shieldverra dengan nada yang begitu meragukan keberanianku. “Kita liat aja nanti,” jawabku datar.

“Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau sedang berada di luar area, cobalah sesaat lagi!” jawab mesin otomatis operator sellular. “Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau sedang berada di luar area, cobalah sesaat lagi!” jawab mesin otomatis itu entah untuk yang kesekian kalinya. Entah mengapa beberapa hari ini pula kurasakan malas yang luar biasa ketika mau berangkat ke sekolah. Kejadian akhir-akhir ini ternyata tidak hanya berpengaruh terhadap semangat belajarku, tapi juga membuat aku merasa tak pernah lapar dan susah tidur. Kondisi ini membuat tubuhku ngedrop, cepat lelah, pusing, dan lain-lain.

Senin pagi… udara sangat sejuk, sinar matahari sangat lembut membalut bumi. Burung-burung asyik bercengkrama bermain embun disebuah pohon cemara di depan sebuah sekolah. Pagi itu tak seperti biasanya Pak boy masuk kelas terlambat sepuluh menit setelah bel masuk berdentang. Hari ini Pak Boy terlihat sangat sibuk. “Anak-anak, saya mohon maaf karena masuk terlambat!” itulah kalimat pertama yang diungkapkannya di depan kelas setelah kami selesai melakukan doa bersama untuk memulai belajar. Tanpa menunggu jawaban, ia kemudian berkata, “Siapa yang tidak hadir hari ini?” sambil memandang ke setiap sudut kelas. “Ronny Pak!” jawab salah seorang siswa setengah berteriak dari sudut belakang kelas sebelah kanan. “Kiki Pak!” jawab Shieldverra tanpa menunggu ditanya. “Kemana dia?” tanya Pak Boy enggak jelas. “Siapa Pak?” tanya Shieldverra. “Ronny apa Kiki?” tanya Shieldverra lagi. “Kiki dong, ah…!” celetuk seorang siswa dari deretan belakang yang disambut dengan ehm…ehm…suit…suit…. siswa lain. Pak Boy hanya tersenyum tipis, mukanya memerah, malu. “Ada apa dengan kalian ini?” dengan nada yang sangat dikontrol dan terkesan jaim. “Enggak ada apa-apa kok, Pak.” Jawab beberapa siswa agak kompak. “Ronny izin Pak sedangkan Kiki sakit” sekretaris kelas menjelaskan dan mencoba mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia tau persis kalau urusan ngecengin orang, kelas IPA-2 jagonya. Sepertinya, Pak Boy merasa sangat tertolong dengan inisiatif sang sekretaris kelas itu. Dengan selamat sentosa, akhirnya Pak Boy bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik di kelas IPA-2.

☺☺☺

“Tujuh ciri orang jatuh cinta,” bisik ….. Matanya tertuju pada majalah bersampul merah. “Cari apa, Pak?” tanya penjual koran. “Boleh liat-liat dulu kan?” tanyanya sambil membolak-balik majalah itu. “Ya udah, saya ambil yang ini.” ucapnya lagi setelah sekian lama asyik sendiri. Rupanya ada sebuah judul tulisan yang sangat menarik laki-laki itu sampai-sampai ia terlihat tak sabar untuk segera membacanya walau sambil berjalan sekalipun. “1. Selalu teringat dia apapun aktivitas kamu.” bacanya perlahan. Lalu lelaki itu tersenyum sendiri. “2. Selalu khawatir jika si dia tidak di samping kamu.” bacanya kemudian. Ia terdiam lalu kembali tersenyum sendiri. “3. Selalu dek-dekan bila si dia ada deket kamu.” bacanya lagi. “ Kiki, obatnya sudah diminum belum?” tanya seorang wanita yang tak lain ibuku. Lamunanku yang tadi hanyut bersama kisah sebuah sinetron berjudul Intan yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta pun, langsung buyar. “Sudah mah.” jawabku agak gugup. “Ya sudah… sekarang istirahat ya!” bisik ibuku lembut diiringi sebuah kecupan hangat mendarat di keningku. “Makasih, mama.” ucapku tulus. Setelah itu, aku mencoba meneruskan kembali lamunanku yang tadi buyar. Tapi betapapun aku berusaha, tetap saja sia-sia. Aku tak bis kembali pada keindahan maya tadi. Sementara aku merasakan suhu badanku tambah tinggi walau tadi sudah minum obat.

Aku sangat kaget ketika aku terjaga berada di tempat yang tidak aku kenal. Gorden hijau, tembok bercat putih, tidak ada lemari boneka di sudut kamar itu. “Ini bukan kamarku,” bisikku dalam hati. “Kiki, syukurlah kamu sudah sadar, sayang.” Ucap seorang perempuan yang tidak lain adalah ibuku dengan senyum yang teramat bahagia di atas gurat wajah penuh kecemasan. “Kiki dimana mah?” tanyaku dengan suara parau. “Kiki sekarang di rumah sakit, sayang. Semalam badan kamu panas, menggigil,” jawab mamaku lembut sekali. “Mama khawatair sekali, sayang” sambungnya lagi sambil berulang kali mengusap-usap pipiku.

Menjelang siang perwakilan teman-teman sekelasku dengan dikomandani Shieldvera datang menjengukku. Biasalah, suasana pasti agak heboh. “Ki, enak banget lo di sini” ungkap Hamdani. Dia siswa paling ngocol di kelasku. “Enak apanya di sini?” tanyaku sambil tersenyum. “Di sini dingin…suejuuuk!” jawabnya cuek sambil memejamkan mata dan menarik nafas panjang. “Kalo gitu, lo yang sakit gantiin gua deh,” pintaku seratus persen bercanda. Kontan suasana jadi penuh canda dan tawa. Aku begitu terhibur berkat kedatangan mereka. “Ver, kamu jangan pulang dulu ya! Temenin Kiki dulu, Tante mau pulang dulu sebentar. Sepertinya Tante harus mandi dulu.” Pinta mamaku kepada Shieldverra. “Sip, Tante. Beres!” jawab Shieldverra ringan. Mamaku menutup pintu kamar dan turun ke lantai bawah menuju tempat parkir rumah sakit bersama teman-temanku yang tadi sekalian meminta izin pulang .

“Dia juga tadi nayain lo, Ki.” Shieldverra mengakhiri ceritanya tentang perkembangan terkini di seputar sekolah dan tentu saja tentang kabar Pak Boy selama aku tidak masuk sekolah.. “Dia nanyain gue, Ver?” desak ku sumringah Aku merasa inilah sebenarnya cerita yang sesungguhnya. “Iya!” jawabnya menegaskan. “Waktu di kelas?” kejarku lagi. “Bukan hanya di kelas, Ki. Gue tadi dipanggil khusus oleh Pak Boy” jawabnya bersemangat. “Oya? Dia nanya apa aja?” selidikku tak sabar. “Dia bukan nanya tapi juga curhat ma gue, Ki. Ternyata Pak Boy itu sebenarnya baik dan lembut banget” Shieldverra akhirnya memulai cerita episode spesial itu kepadaku. Cerita tentang sikap Pak Boy yang tegas, tentang sikap galaknya, tentang sikap cueknya kepadaku, dan tentang perasaannya kepadaku. Tak terasa air mataku menetes, menghangati pipiku. “Aku tambah merasa bersalah, Ver..” keluhku di sela isak yang tak kuasa ku tahan. Shieldverra memelukku penuh kasih dan kurasakan ada titik hangat yang menetes dipundakku bagian belakang. “Ini air mata seorang sahabat, Ki.” Ucapnya lirih. “Gue tau perasaan lo” sambungnya. Aku menggigit bibir tanda hati ini sangat teriris. Betapa aku sangat menyesali segala sikap dan perbuatanku terhadapnya.

Kami terkesiap ketika terdengar bunyi derap sepatu di luar kamar tempat aku dirawat. Cepat ku hapus air mata penyesalan itu walau hatiku tak akan secepat itu mengering. “Assalamualaikum!” terdengar suara yang datang memberi salam sambil mendorong pintu. “Wa’alaikum salam” jawab ku dan Shieldverra hampir bersamaan. “Mama… !” sapaku terbata. “Kok lama sih Ma?” tanyaku kemudian. “Iya Ki, soalnya tadi ada tamu dulu,” jawab mamaku sambil meletakkan beberapa bungkusan plastik di atas meja di sudut kamar. “Tamu siapa Ma?” tanyaku datar. “Pak Boy, Ki.” Jawab ibuku sambil meletakan beberapa buah apel dan anggur ke atas piring ceper. Kontan aku tak bisa bernafas seakan ada sesuatu yang mencekik dan menyumbat leherku. “Apa?” tanyaku tak percaya campur heran. “Iya, Pak Boy tadi ke rumah. Ia minta maaf atas kejadian-kejadian tempo hari. Ia juga banyak bercerita kepada Mama. Makanya Mama agak lama balik lagi ke sini,” Papar Mamaku. “Mama juga akhirnya banyak juga bercerita tentang kamu.” Lanjutnya. Lalu Mama menceritakan semuanya dengan sangat teliti kepadaku. Ku hapus air mataku yang sedari tadi terus berderai. “Dia minta maaf sama kamu dan dia minta kamu mendoakan dia, semoga di tempat yang baru ia dapat menjalankan kewajibannya dengan lebih baik.” Mamaku mengakhiri ceritanya. Untuk kedua kalinya sesuatu yang tadi sempat kutahan akhirnya tak lagi terbendung, bahkan kali ini kubiarkan saja semuanya terekspresikan, biar sedikit lega dada ini. “Ki, kenapa anakku?” tanya Mama tidak mengerti. “Kiki terlalu banyak melakukan kesalahan, Ma…. Kiki juga terlalu sering membuat dia menderita,” jawabku sambil memeluk Mama dengan sangat erat. Kuceritakan semua yang telah kulakukan kepada Pak Boy. “Mintalah maaf, nak! Kamu tidak boleh seperti itu!” pinta ibuku sambil menghapus air mata yang juga membasahi pipinya. Lalu perlahan Mama melepaskan pelukanku. Ia melangkah mengambil sebuah bungkusan lalu mengeluarkan sebuah kotak yang dibungkus kertas kado yang salah satu sisinya terlihat kotor. “Oh..Tuhan..Aku pernah melihat bungkusan itu. Bukankah itu bungkusan yang tempo hari dibawa jatuh oleh Pak Boy ke dalam selokan dekat sekolahku ketika aku dengan sengaja membuat dia masuk got tempo hari?” kenangku. Hati ini begitu nelangsa tatkala ku ingat bagaimana dia berusaha membersihkan kotoran pada bungkusan berbentuk kotak yang ada di tangan mamaku kini dengan ujung jaketnya. Sebuah boneka Winnie The Pooh, tokoh kartun lucu kesukaanku. Ternyata….. dia sangat memperhatikan aku. Betapa aku merasa sangat bersalah sampai hari ini.

☺☺☺

…Pak, Aku sangat merindukanmu. Berilah aku kesempatan untuk sekedar mengucapkan permohonan maaf. Aku mencintaimu….. Gerimis, medio November 2000. Begitu akhir tulisanku di atas buku diary malam itu. Ku rebahkan tubuhku di atas kasur, khayalku terbang bersama peri-peri cinta ke swarga loka.

Oo… Aku hanya ingin kau tahu

Besarnya cintaku, tingginya khayalku bersamamu

Tuk lalui waktu yang tersisa kini

Disetiap hariku, disisa akhir nafas hidupku…

Aku terperanjat. “Diakah itu?” tanya ku dalam hati seakan tak percaya. Memang sengaja aku setting lagu Republik sebagai nada dering nomor telepon genggamnya. Dengan gemetar aku angkat telepon ku. “Hallo..!” suaraku bergetar menahan sesuatu yang aku sendiri tak tahu.

Tidak ada komentar:

Lagu The NexT - Shofie

The Next Band