Rabu, 31 Desember 2008

Ciremai Ujung (Mengapa Shofie?)

Ciremai Ujung

(Mengapa Shofie?)

Semilir angin sore terasa begitu bebas menerobos paru-paruku. Dalam ku hirup sejuknya wangi dedaunan ranggas berwarna coklat yang terhampar di atas jalanan aspal yang tak begitu ramai dilalui kendaraan. Kulihat daun-daun itu tertepikan oleh hempasan angin kendaraan yang melaju santai. Pagi besok dedaunan itu akan habis disapu ibu-ibu petugas kebersihan yang setia dan telaten melaksanakan panggilan nuraninya.

Pohon-pohon tua berumur puluhan bahkan ratusan tahun itulah yang yang menjadikan kota kecil ini berbeda dengan kota-kota lain yang pernah kukunjungi. Sepanjang jalan dipenuhi pohon-pohon kenari besar. Banyak juga pohon-pohon beringin yang telah berjanggut dan merumbaikan janggut panjangnya ke jalan. Sungguh merupakan pemandangan kota yang langka. Oleh karena itu kota ini akan tetap menjadi kota nomor satu di hatiku.

Sore itu, angin yang turun dari punggung Gunung Salak merebakkan sejuknya ke kota kecilku. Sejuk sekali. Aku masih enggan beranjak dari malasku yang terus dibelai-belai semilir dan sejuk angin.

Dari tempatku bersandar ini, jelas sekali di bawah sana terhampar perumahan Sempur yang kian rapat mengikuti batas kelok semacam lembah yang menghampar dari batas utara kebun raya sampai daerah Warung Jambu yang kini berdiri kokoh pusat perbelanjaan. Di bawah sana meliuk-liuk tenang Sungai Ciliwung memantulkan cahaya ramah mentari sore yang mulai jingga. Aku membayangkan jika dari batas Warung Jambu sana aliran deras Ciliwung dibendung, maka cekungan semacam lembah itu akan menjadi sebuah danau yang sangat besar dan indah, berpagar pepohonan rimbun nan besar, dilingkari jalan aspal mulus, dihiasi rumah-rumah tua peninggalan Belanda yang tertatih bertahan menahan gempuran zaman. Aku yakin kota ku ini akan semakin indah, sejuk, dan nyaman.

Semilir angin terus membelai wajahku. Sejuk sekali. Kupejamkan mataku dalam-dalam, kubiarkan semua kenangan masa lalu ku silih berganti membayang.

Di tempat dan di bawah pohon besar ini dulu aku sering menyandarkan tubuh lelahku. Semua masih seperti dulu. Gitar bututku kubiarkan tergeletak di hamparan dedaunan kering seperti sekarang ini. Di sini pula aku sering berjanji dengan seorang teman SMA ku. Dia begitu baik dan memperhatikan aku, walau ia tak seperti aku, seorang anak jalanan yang ingin sekolah. Walau begitu, aku mungkin jauh lebih baik ketimbang sebagai anak sekolah yang lebih banyak di jalanan. Ia sosok wanita cantik, ramah, dan sederhana walau anak orang mampu secara ekonomi. Ayahnya Ketua Pengadilan Negeri Bogor yang berkantor tepat di samping Regina Pacis, sekolah tua yang juga menempati gedung tua. Pernah beberapa kali aku mengantarnya pulang sekolah. Kantor tua bercat putih itu begitu sejuk, pohon-pohon besar masih kerap berdiri sampai kini.

Gadis itu bernama Shofie. Sungguh nama yang sangat indah dan membuat ku melayang setiap kali tak sengaja ku dengar nama itu disebut orang dalam sebuah perbincangan atau ku baca dalam sebuah tulisan walau aku tahu itu bukanlah Shofie ku. Tidak jelas apa alasan pasti gadis itu dekat dengan ku. Mungkin ia hanya iba melihat nasibku yang harus mengamen membiayai sekolahku sampai aku kuliah kini.

Pernah pada suatu siang ia membawakan aku sebungkus makanan. Di tempat ini aku makan dan tertawa bersama. Aku tidak tau perasaanku kepada nya atau perasaannya kepadaku. Aku hanya merasakan dia begitu istimewa bagi ku.

Di pohon ini pernah ku ukir nama ku dan namanya. Kota ini pun menjadi saksi ketika aku bercengkrama bersama di bawah sebuah payung di guyur derasnya hujan pagi saat menunggu angkot yang sedikit enggan mengangkut kami yang notabene membayar lebih murah dibanding penumpang biasa. Putih-abu yang kami kenakakan sebagian basah. Tapi jiwa kami begitu hangat.

Ku tarik nafas panjang karena ada keinginan kuat dalam batin ku untuk kembali mengulangi masa yang tak mungkin kujelang lagi. Mataku menghangat ketika ku ingat senyum manisnya untuk yang terakhir kali menghias wajah mulus berhias bulu-bulu halus itu. Masih jelas terbayang bagaimana ia begitu antusias mendengarkan lagu baru yang ku tulis khusus untuknya. Tepuk tangan dan pujian-pujian meluncur lembut dari mulutnya ketika mengomentari syair dan irama laguku.

"Tapi mengapa harus begitu akhir cerita cintanya?" tanyanya sambil memiringkan kepalanya dan merapikan rambut dengan tangannya dengan pandangan yang amat lembut kepadaku..

"Apa kamu menginginkan kita seperti itu?" kejarnya lagi.

Sambil menunduk aku menjawab, "Sebenarnya itu hanya khayalan yang sama sekali tidak aku inginkan. Aku hanya membayangkan betapa aku sangat bersedih hati seumur hidupku jika seperti itu."

"Kenapa?" tanyanya seakan mengejarku sampai ke sudut.

"Kenapa?" jawabku balik bertanya. "Kalau boleh aku ingin menjagamu dengan segenap cintaku, selamanya." lanjutku penuh keragu-raguan.

"Kalau Boleh?" jawabnya dengan tanya disertai tawa kecil dan mata yang berbinar indah.

"Kamu pikir selama ini bagaimana?" lanjutnya lagi.

Aku tersenyum bahagia. Dunia terasa sangat indah saat itu.

"Ok, Fer met ketemu besok pagi ya. Kita berangkat sekolah bareng kan?"

"Di tempat biasa?" tanyaku sambil ku genggam erat tangannya.

Ku lihat dia hanya mengangguk dan tersenyum sangat cantik. Aku mengantarnya dengan pandangku dari tempatku berdiri di bawah pohon kenari besar ini. Aku menyesal mengapa tidak ku gandeng saja tangannya menyebrangi jalan sepi Ciremai Ujung itu. Bagai petir menyambar, sesaat aku dengar sebuah bunyi keras semacam benturan dan bunyi berdecit panjang rem mobil. Tak percaya ku lihat dia terkapar di seberang jalan sana. Sebuah mercy tiger warna hitam berhenti dengan posisi agak melintang tidak jauh dari tempat Shofie terkulai . Aku menghambur, berlari,kubanting gitar butut itu, aku berteriak sekeras-keras nya. Aku memeluk erat tubuhnya yang terkulai. Darah yang membasahi bajuku membuat aku lebih histeris dan tak henti kupanggil namanya dengan suara lirih dan bergetar.

Dia pergi dengan sangat cantik dalam pelukanku. Aku berteriak panjang hingga tak lagi bersuara. Pedih hati yang tersayat sungguh tak sanggup ku peri. Ku peluk erat tubuhnya, dalam linangan air mata, ku kecup keningnya. Cairan hangat tak kuasa ku bendung di belai semilir angin sore ini. Aku sungguh tak dapat melupakanmu.

Aku bangkit dari duduk ku. Terasa sangat berat. berat sekali... Ku raba ukiran nama ku dan namanya. Gontai kutapaki Ciremai Ujung menuju sisi Kebun Raya sebelah utara. Semua masih seperti dulu. Begitu pula semua gurat kenangan bersamanya masih sangat jelas terbayang hidup, sehidup cintaku yang akan tetap tersemat untukmu sampai akhir perjalanan ini. Demikianlah Lagu Shofie ku buat dengan sepenuh jiwa ragaku di ujung senja di Ciremai ujung.

Tidak ada komentar:

Lagu The NexT - Shofie

The Next Band